Rutinan Ahad PON

Tahlil dan Kajian Rutin Kitab Risalah Aswaja, Kitab Karya Mbah Hasyim ASy'ari

Berkah Ramadlan Bersama GP Ansor

Kegiatan Sosial yang akan dilaksanakan oleh PAC GP Ansor Bantarkawung seperti Santunan Fakir Miskin, Yatim piatu dan berbagi Takjil di Bulan Ramadhan.

Bakti Negeri dalam Satgas Covid 19

Kegiatan Satgas Covid 19 yang dilaksanakan Muspika melibatkan ormas-ormas termasuk Sahabat Banser.

Thursday, 20 December 2018

TURBA Ansor Banser

Guna mensosialisasikan kegiatan PKD DIKLATSAR KE 2, PAC Gerakan Pemuda Ansor NU Kec. Bantarkawung beserta Panitia melakukan Turba (turun ke bawah) ke  semua Ranting GP Ansor se kec. Bantarkawung.

Ketua umum PAC GP Ansor Bantarkawung Ahmad Faizin mengatakan kegiatan Turba dimaksudkan untuk menambah hubungan silaturrahim dan sosialisasi kegiatan PKD DIKLATSAR ke 2 yang akan dilaksanakan tanggal 4-6 Januari 2019 di Dukuh Cikuning,  Desa Terlaya.

Dalam Turba yang dilaksanakan tanggal 1 & 15 Desember 2018, selain diikuti sekretaris PAC GP Ansor Ali Yasin, Bendahara PAC Riyan F juga diikuti beberapa panitia seperti sahabat Rizki M (Ketua), Ndan Daman,  Ndan Didi dan Ndan Ramdani. Adapun tujuan TURBA adalah Ranting Legok,  Bojongneros, Mayana, Terlaya 2, Cibentang 2, Banjarsari & Cimerak.










PKD DIKLATSAR Ke 2


Mungkin banyak yang heran sekaligus masih bertanya-tanya kenapa harus ada kaderisasi dalam setiap organisasi. Baik itu di organisasi-organisasi di kampus ataupun organisasi kemasyarakatan pasti memiliki satu bagian yang mengurus kaderisasi. Apa sebegitu pentingnya kaderisasi untuk organisasi?? Mari kita telaah secara bersama-sama.
Kaderisasi bisa diibaratkan sebagi jantungnya sebuah organisasi, tanpa adanya kaderisasi rasanya sulit dibayangkan suatu organisasi mampu bergerak maju dan dinamis. Hal ini karena kaderisasilah yang menciptakan embrio-embrio baru yang nantinya akan memegang tongkat estafet perjuangan organisasi. Kaderisasi berusaha menciptakan kader yang bukan hanya hebat dalam mengerjakan suatu program, tapi lebih dari itu. Kaderisasi haruslah mampu menciptakan kader yang memiliki jiwa pemimpin, memiliki emosi yang terkontrol, kreatif dan mampu menjadi pemberi solusi untuk setiap permasalahan, harus memiliki mental yang kuat  dan  yang terpenting dapat menjadi seorang teladan bagi anggotanya. Dalam proses kaderisasi ada dua ikon penting, yaitu Pelaku Kaderisasi (subjek) dan Sasaran Kaderisasi (objek)
Pelaku kaderisasi adalah individu-individu yang telah memiliki kapasitas yang mantap dan kuat  untuk mengkader semua anggotanya dan memahami alur atau berjalannya kaderisasi dalam organisasi tersebut.  Sedangkan sasaran kaderisasi adalah individu-individu yang dipersiapkan dan dilatih untuk menjadi penerus visi dan misi organisasi.
Jadi, Kaderisasi merupakan suatu kebutuhan internal yang  dilakukan demi kelangsungan dan kelancaran organisasi. Seperti halnya dengan hukum alam dengan  adanya suatu siklus, dimana semua proses pasti akan terus berulang - ulang  dan terus berganti. Namun semua itu harus ada  satu yang perlu kita pikirkan, yaitu format dan mekanisme yang komprehensif dan mapan, guna memunculkan kader-kader yang tidak hanya mempunyai kemampuan di bidang manajemen organisasi, tapi yang lebih penting adalah memiliki mental atau karakter serta  tetap berpegang pada komitmen sosial dengan segala dimensinya. Sukses atau tidaknya dalam sebuah organisasi dapat diukur dari kesuksesan dalam proses kaderisasi internal yang di kembangkannya. Karena, wujud dari keberlanjutan organisasi adalah munculnya kader-kader yang memiliki kapabilitas dan komitmen terhadap dinamika organisasi untuk masa depan.
Bung Hatta pernah bertutur mengenai kaderisasi, “Bahwa kaderisasi sama artinya dengan menanam bibit. Untuk menghasilkan pemimpin bangsa di masa depan, pemimpin pada masanya harus menanam.”

Wednesday, 19 December 2018

Komite Hijaz salah satu embrio berdirinya NU

Kalangan pesantren gigih melawan kolonialisme dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Selanjutnya didirikanlah Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Sementara itu, keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana–setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya,  muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi’dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagi Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Asal Mula Terbentuknya NU, Kisah KH Cholil Bangkalan



Di berbagai literatur yang menjelaskan tentang sejarah pendirian Nahdlatul Ulama (NU), KH Cholil Bangkalan Madura (1820-1923) mempunyai peran strategis. Peran tersebut terjadi ketika KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1875-1947) hendak meminta petunjuk kepada Mbah Cholil terkait gagasan para kiai pesantren untuk mendirikan sebuah organisasi ulama.

Kala itu, KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) sekitar tahun 1924 menggagas pendirian Jam’iyyah NU yang langsung disampaikan kepada Mbah Hasyim Asy’ari untuk meminta persetujuan. Namun, Mbah Hasyim tidak lantas menyetujui terlebih dahulu sebelum ia melakukan sholat istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT.

Sikap bijaksana dan kehati-hatian Mbah Hasyim dalam menyambut permintaan Mbah Wahab juga dilandasi oleh berbagai hal, di antaranya posisi Mbah Hasyim saat itu lebih dikenal sebagai Bapak Umat Islam Indonesia (Jawa). Mbah Hasyim juga menjadi tempat meminta nasihat bagi para tokoh pergerakan nasional. Sehingga ide untuk mendirikan sebuah organisasi harus dikaji secara mendalam.

Hasil dari istikharah Mbah Hasyim dikisahkan oleh KH Raden As’ad Syamsul Arifin (1897-1990), Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo. Mbah As’ad mengungkapkan, petunjuk hasil dari istikharah Mbah Hasyim justru tidak jatuh ditangannya untuk mengambil keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil Bangkalan, yang juga guru Mbah Hasyim dan Mbah Wahab.

Dari petunjuk tersebut, Mbah As’ad yang ketika itu menjadi santri Mbah Cholil berperan sebagai mediator antara Mbah Cholil dan Mbah Hasyim. Ada dua petunjuk yang harus dilaksanakan oleh Mbah As’ad sebagai penghubung atau wasilah untuk menyampaikan amanah Mbah Cholil kepada Mbah Hasyim. (Choirul Anam, 2010: 72) 

Hal ini merupakan bentuk komitmen dan ta’dzim santri kepada gurunya apalagi terkait persoalan-persoalan penting dan strategis. Ditambah tidak mudahnya bolak-balik dari Bangkalan ke Tebuireng di tengah situasi penjajahan saat itu.

Petunjuk pertama, pada akhir tahun 1924 santri As’ad diminta oleh Mbah Cholil untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Qur’an Surat Thaha ayat 17-13 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa AS: 

“Apakah itu yang di tangan kananmu wahai Musa? “Ini adalah tongkatk, aku bertelekan kepadanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya”. Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa! Lalu dilemparkanyalah tongkat itu, tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. 

Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengemabalikan pada keadaan semula. Dan Kepitlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia akan keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat – sebagai mukjizat yang lain (pula) – untuk kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar.” 

Petunjuk kedua, kali ini akhir tahun 1925 santri As’ad kembali diutus Mbah Cholil untuk mengantarkan seuntai tasbih lengkap dengan bacaan Asmaul Husna (Ya Jabbar, Ya Qahhar. Berarti menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa) ke tempat yang sama dan ditujukan kepada orang sama yaitu Mbah Hasyim.

Setibanya di Tebuireng, santri As’ad menyampaikan tasbih yang dikalungkannya dan mempersilakan Mbah Hasyim untuk mengambilnya sendiri dari leher As’ad. Bukan bermaksud As’ad tidak ingin mengambilkannya untuk Mbah Hasyim, melainkan As’ad tidak ingin menyentuh tasbih sebagai amanah dari Mbah Cholil kepada Mbah Hasyim. Sebab itu, tasbih tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan As’ad sepanjang perjalanan dari Bangkalan ke Tebuireng.

Setelah tasbih diambil, Mbah Hasyim bertanya kepada As’ad: “Apakah ada pesan lain lagi dari Bangkalan?” Kontan As’ad hanya menjawab: “Ya Jabbar, Ya Qahhar”, dua asmaul husna tarsebut diulang oleh As’ad hingga 3 kali sesuai pesan sang guru. Mbah Hasyim kemudian berkata, “Allah SWT telah memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyyah”.

Dari proses lahir dan batin yang cukup panjang tersebut menggamabarkan bahwa lika-liku lahirnya NU  tidak banyak bertumpu pada perangkat formal sebagaimana lazimnya pembentukan organisasi. NU lahir berdasarkan petunjuk Allah SWT. Terlihat di sini, fungsi ide dan gagasan tidak terlihat mendominasi. Faktor penentu adalah konfirmasi kepada Allah SWT melalui ikhtiar lahir dan batin. Inilah distingsi (ciri khas) yang membedakan NU dengan organisasi keagamaan lainnya.

Fakta sejarah di atas merupakan sebagian proses penting lahirnya NU. Di samping itu, peran sejumlah ulama dan kiai tentu tidak kalah strategisnya dalam proses panjang tersebut. Karena gagasan yang dibangun oleh Mbah Wahab tidak muncul secara instan, melainkan harus melalui dialektika panjang terkait paham keagamaan yang saat itu muncul ditambah dengan ketidakperikemanusiaan  yang terus menerus dilakukan oleh penjajah saat itu.

Tentu tulisan singkat ini perlu dilengkapi oleh berbagai kisah yang melingkupi proses pendirian NU sehingga lahir sebagai organisasi sosial kegamaan (jami’yyah diniyyah ijtima’iyyah) yang mampu merawat akidah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) dan meneguhkan keindonesiaan yang majemuk. Langkah komplementasi tulisan sejarah terkait hal ini sangat penting agar peristiwa sejarah tidak dipahami secara anakronistik (sepotong-potong).

Tulisan Fathoni Ahmad yang disarikan dari buku "Pertumbuhan dan Perkembangan NU" karya Choirul Anam.

KARYA-KARYA K.H. HASYIM ASY’ARI



KARYA-KARYA K.H. HASYIM ASY’ARI

Salah satu ciri khas yang membedakan Kiai Hasyim dengan para ulama pada umumnya adalah kegemarannya mengarang kitab. Tradisi ini sebenarnya merupakan salah satu tradisi yang berkembang sejak lama di kalangan para ulama terdahulu. Ulama identik dengan seorang cerdik cendikia yang kerap mewariskan ilmu dan amal. Ulama mewariskan amal melalui pengabdian kepada umat, sedangkan ilmu diwariskan melalui kitab-kitab yang dikarangnya. Kiai Hasyim telah membuktikan dirinya sebagai sosok ulama yang mampu mewariskan kedua hal tersebut, ilmu dan amal. Karnya- karyanya telah membentuk sebuah karakter keberagaman yang khas Indonesia, yang mampu beradaptasi dengan kebudayaan lokal dan tradisi-tradisi yang berkembang, khususnya tradisi Jawa.
Adapun karya-karya Kiai Hasyim yang berhasil didokumentasikan, terutama oleh cucunya, almarhum Isham Hadziq, adalah sebagai berikut: al-Tibyân fî al-Nahy ‘an Muqât } a‘ât al-Arh } âm wa al-Aqârîb wa al-Ikhwân, Muqaddimah al-Qanûn al-Asâsî lî Jam‘îyat Nahd } atal-‘Ulamâ, Risâlah fî Ta’kîd al-Akhdh bi Madhhab al-A’immah al-Arba‘ah, Mawâ’idh, Arba‘în H { adîthan Tata‘allaq bi Mabâdi’ Jam‘îyat Nahd } at al- Ulamâ, al-Nûr al-Mubîn fî Mah } abbah Sayyid al-Mursalîn, al-Tanbihât al- Wâjibât li man Yas } na‘ al-Mawlid bi al-Munkarât, Risâlah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah fî H } adîth al-Mawtâ wa Shurût } al-Sâ’ah wa Bayân Mafhûm al- Sunnah wa al-Bid‘ah, Ziyâdat Ta‘lîqât alâ Mandhûmah Shaykh ‘Abd Allâh b. Yâsin al-Fâsuruanî, Dwa’ al-Mis } bâh fî Bayân Ah } kâm al-Nikâh } , al-Dhurrah al-Muntashirah fî Masâil Tis‘ Asharah, al-Risâlah fî al-‘Aqâid, al-Risâlah fî al- Tasawuf, Adâb al-‘Âlim wa al-Muta‘allim fî mâ Yah } tâj ilayh al-Muta‘allim fî Maqâmât Ta‘lîmih, Hâshiyât ‘ala Fath } al-Rah } mân bi Sharh } Risalât al-Walî Ruslân li Shaykh al-Islâm Zakarîyyâ al-Ans } ârî, al-Risâlat al-Tawh } îdîyah, al- Qalâid fî Bayân mâ Yajib min al-‘Aqâ’id, al-Risâlat al-Jamâ‘ah, Tamyûz al- H { aqq min al-Bât } il, al-Jasûs fî Ah } kâm al-Nuqûs } , dan Manâsik Sughrâ.

Tidak bisa diragukan, Kiai Hasyim adalah sosok yang sangat istimewa, perjalanan hidupnya dihabiskan untuk beribadah, mencari ilmu, dan mengabdi bagi kemuliaan hidup. Keseluruhan perjalanan hidupnya dapat dijadikan lentera yang akan menyinari hati dan pikiran para penerusnya untuk melakukan hal serupa. Meskipun harus diakui tidak mudah untuk melakukannya, setidaknya akan muncul komitmen untuk mencintai ilmu dan menebarkan untuk kemajuan umat. Solichin Salam (1963) memberikan kilasan terhadap kepribadian Kiai Hasyim yang menarik untuk direnungkan, “Kebesaran Kiai Hasyim tidak dalam lapangan politik karena memang bukan di sanalah tempatnya. Dia bukanlah seorang politikus, negarawan pun tidak. Kiai Hasyim bukan pula seorang organisator ataupun orator ulung, melainkan dia adalah seorang ulama besar yang kaya ilmu serta berjiwa “besar”.
Dengan demikian, Kiai Hasyim merupakan seorang ulama yang menjadikan ilmu sebagai jembatan untuk mencerdaskan umat. Adapun perjuangan dalam mewujudkan kemerdekaan merupakan bagian dari komitmennya untuk menjadikan bangsa ini berdaulat dan terbebas dari belenggu penjajah. Tidak dielakkan lagi, Kiai Hasyim adalah ulama yang peduli umat dan bangsa.

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy'ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur'an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur'an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.
Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa. 

Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma'sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.

Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris. Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul 'The Story of Civilazation'. Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin 'What is To Be Done' . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur.

Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara. Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo. 

Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki. 

Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas.

Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada saat itu. Kekagumannya pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam Husain sebagai salah satu tokohnya, menjadi luntur ketika syekh yang dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh.


Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya. 

Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik.



Gus Dur Wafat
Gus Dur wafat, hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkosumo, Jakarta, pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, diantarnya jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya sejak lama.
Rangkuman
Penghargaan :
1. Tokoh 1990, Majalah Editor, tahun 1990
2. Ramon Magsaysay Award for Community Leadership, Ramon Magsaysay Award Foundation, Philipina, tahun 1991
3. Islamic Missionary Award from the Government of Egypt, tahun 1991
4. Penghargaan Bina Ekatama, PKBI, tahun 1994
5. Man Of The Year 1998, Majalah berita independent (REM), tahun 1998
6. Honorary Degree in Public Administration and Policy Issues from the University of Twente, tahun 2000
7. Gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, tahun 2000
8. Doctor Honoris Causa dalam bidang Philosophy In Law dari Universitas Thammasat Thaprachan Bangkok, Thailand, Mei 2000
9. Doctor Honoris Causa dari Universitas Paris I (Panthéon-Sorbonne) pada bidang ilmu hokum dan politik, ilmu ekonomi dan manajemen, dan ilmu humaniora, tahun 2000
10. Penghargaan Kepemimpinan Global (The Global Leadership Award) dari Columbia University, September 2000
11. Doctor Honoris Causa dari Asian Institute of Technology, Thailand, tahun 2000
12. Ambassador for Peace, salah satu badan PBB, tahun 2001
13. Doctor Honoris Causa dari Universitas Sokka, Jepang, tahun 2002
14. Doctor Honoris Causa bidang hukum dari Konkuk University, Seoul Korea Selatan, 21 Maret 2003.
15. Medals of Valor, sebuah penghargaan bagi personal yang gigih memperjuangkan pluralism dan multikulturalisme, diberikan oleh Simon Wieshenthal Center (yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM dan toleransi antarumat beragama), New York, 5 Maret 2009.
16. Penghargaan nama Abdurrahman Wahid sebagai salah satu jurusan studi Agama di Temple University, Philadelphi, 5 Maret 2009.


NAMA LENGKAP

KH. Abdurrahman Wahid

TEMPAT / TANGGAL LAHIR

Jombang, 04 Agustus 1940

AYAH

KH. A. Wahid Hasyim

IBU

Ny. Hj. Sholehah

ISTRI

Sinta Nuriyah

ANAK

  • Alissa Qotrunnada
  • Zannuba Ariffah Chafsoh
  • Anita Hayatunnufus
  • Inayah Wulandari

PENDIDIKAN

  • 1966-1970
    Universitas Baghdad, Irak, Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab
  • 1964-1966
    Al Azhar University, Cairo, Mesir, Fakultas Syari'ah (Kulliyah al-Syari'ah)
  • 1959-1963
    Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur, Indonesia
  • 1957-1959
    Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia

PENGALAMAN JABATAN

  • 1999-2001
    Presiden Republik Indonesia
  • 1989-1993
    Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI
  • 1987-1992
    Ketua Majelis Ulama Indonesia
  • 1984-2000
    Ketua Dewan Tanfidz PBNU

Tuesday, 18 December 2018

KH. Said Agil Siradj



Ketokohan kiai yang satu ini makin kuat setelah ia menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) selama dua periode. Keilmuannya pun tak diragukan. Tak hanya soal agama, Said Aqil Siroj juga sering terlibat dalam gerakan anti diskriminasi dan berjuang bersama lintas agama. Tradisi yang selalu dijaga seperti yang dilakukan tokoh besar NU lainnya.

Kiai kelahiran Cirebon, Jawa Barat, 3 Juli 1953 ini memulai sekolahnya di Madrasah Tarbiyatul Mubtadi'ien, Kempek, Cirebon. Pada usia 12 tahun, ia mondok di Hidayatul Mubtadi'en, Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Di sini dia menjadi santri selama lima tahun. Dia juga meneruskan mengajinya di Pesantren Al-Munawar Krapyak, Yogyakarata, selama tiga tahun dan lulus pada usia 22 tahun.

Pendidikannya berlanjut. Dia meneruskan pendidikannya ke luar negeri. Said Aqil Siroj mengambil pendidikan S1-nya di Fakultas Ushuluddin dan Dakwah di Universitas King Abdul Aziz, Arab Saudi. Dia berhasil lulus pada tahun 1982. Kepalang tanggung, dia meneruskannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dia mengambil S2 jurusan Perbandingan Agama dan S3 jurusan Aqidah dan Filsafat Islam di Universitas Umm al-Qura, Mekah, Arab Saudi, dan berhasil meraih doktor pada usia 41 tahun.

Sejak mahasiswa, Siroj terlibat aktif di organisasi Nahdlatul Ulama (NU), di antaranya adalah menjadi sekertaris PMII Rayon Krapyak, Yogyakarta, dan menjadi Ketua Keluarga Mahasiswa NU (KMNU) Mekah pada  tahun 1983-1987. Selain menjadi pengurus organisasi, ia juga mempunyai kegiatan lainnya, menjadi tim ahli bahasa Indonesia dalam surat kabar harian Al-Nadwah Mekkah di tahun 1991

Sekembalinya dari Timur Tengah, Aqil Siroj makin aktif di tingkat nasional. Keahliannya dalam kajian keislaman, ia diminta menjadi dosen di berbagai kampus di dalam negeri. Di antaranya dia tercatat sebagai dosen di Institut Pendidikan Tinggi Ilmu Alquran (PTIIQ), Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta pada tahun 1995.  Bahkan dua tahun kemudian ia menjadi Wakil Direktur Universitas Islam Malang.  

Selain berkecimpung di dunia akademisi, dia juga terlibat dalam dunia gerakan lintas agama dan anti driskiminasi dengan menjadi Penasehat Gerakan Anti Diskriminasi Indonesia (Gandi) dan pada tahun yang sama, ia menjadi Wakil Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kerusuhan Mei 1998.  

Namanya makin menasional saat dia dicalonkan sebagai ketua umum PB NU. Dia menggantikan ketua umum sebelumnya KH. Hayim Muzadi. Siroj berhasil menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk periode 2010-2015. Sukses membawa warga nahdliyin, seperti ditulis dalam situs NU, ia kembali dipercaya menjadi ketua umum PB NU 2015-2020.

KELUARGA      
Istri          : Hj. Nur Hayati Abdul Qodir
Anak       : Muhammad Said Aqil
                 Nisrin Said Aqil
                 Rihab Said Aqil
                 Aqil Said Aqil

PENDIDIKAN
Madrasah Tarbiyatul Mubtadi’ien Kempek Cirebon
Hidayatul Mubtadi’en Pesantren Lirboyo Kediri, 1965-1970
Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta,1972-1975
S1, Ushuluddin dan Dakwah, Universitas King Abdul Aziz, 1982
S2, Perbandingan Agama, Universitas Umm al-Qura, Mekah, 1987
S3, Aqidah dan Filsafat Islam, University of Umm al-Qura, Mekah, 1994

KARIER
Sekertaris PMII Rayon Krapyak, Yogyakarta, 1972-1974
Ketua Keluarga Mahasiswa NU (KMNU) Mekkah, 1983-1987
Tim ahli bahasa Indonesia, Surat Kabar Harian Al-Nadwah Mekah,1991
Dosen di Institut Pendidikan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ),1995-1997
Dosen pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1995
Wakil Katib ‘aam PBNU, 1994-1998
Wakil Direktur Universitas Islam Malang (Unisma),1997-1999
Katib ‘Aam PBNU, 1998-1999
Penasihat fakultas di Universitas Surabaya (Ubaya), 1998
Wakil ketua dari lima tim penyusun rancangan AD /ART PKB,1998
Penasehat Gerakan Anti Diskriminasi Indonesia (Gandi),1998
Ketua Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa (FKKB), 1998
Penasehat Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam UI, 1998
Wakil Ketua Tim Gabungan Pencari fakta (TGPF) Kerusuhan Mei,1998
Ketua TGPF Kasus pembantaian Dukun Santet Banyuwangi,1998)
Dosen luar biasa di Institut Islam Tribakti Lirboyo Kediri, 1999
Penasehat PMKRI, 1999
Ketua Panitia Muktamar NU XXX di Lirboyo Kediri,1999
Penasehat Masyarakat Pariwisata Indonesia (MPI), 2001
Anggota Kehormatan MATAKIN, 1999-2002
Dosen Universitas NU Solo, 2003
Dosen Pascasarjana ST Ibrahim Maqdum, Tuban, 2003
Rais Syuriah PBNU,1999-2004
Ketua PBNU, 2004
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), 2010-2015
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), 2015-2020

KH. Hasyim Asy'ari


K.H. Hasyim memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy‟ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim. Abdul Halim ini terkenal dengan nama Pangeran Benawa bin Abdurrahman yang juga dikenal dengan julukan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishak bin Ainul Yakin yang popular dengan sebutan Sunan Giri. Sementara itu ada yang menyebutnya dengan Muhammad Hasyim binti Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir atau juga dikenal dengan nama Mas Karebet bin Lembu Peteng (Prabu Brawijaya VI). Penyebutan pertama menunjuk pada silsilah keturunan dari jalur bapak, sedangkan yang kedua dari jalur ibu. Dilihat dari dua silsilah di atas, Kiai Hasyim mewakili dua trah sekaligus, aristokrat atau bangsawan Jawa dan elit agama (Islam). Dari jalur ayah, mata rantai genetisnya bertemu langsung dengan bangsawan Muslim Jawa (Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir) dan sekaligus elit agama Jawa (Sunan Giri). Sementara dari jalur ibu, Kiai Hasyim masih keturunan langsung Raja Barwijaya VI (Lembu Peteng) yang berlatar belakang bangsawan Hindu Jawa. Kiai Hasyim lahir dari pasangan suami istri Kiai Asy‟ari dan Halimah pada hari Selasa Kliwon tanggal 14 Februari tahun 1871 M atau bertepatan dengan 12 Dhû al-Qadah tahun 1287 H. Tempat kelahiran beliau berada di sekitar dua kilometer arah utara dari kota Jombang, yaitu di pesantren Gedang. Gedang sendiri merupakan salah satu dusun yang menjadi wilayah administratif desa Tambakrejo kecamatan Jombang. Dengan demikian, dilihat dari waktu kelahirannya, dia dapat dipandang sebagai bagian dari generasi Muslim paruh akhir abad ke-19. Sejak masa kanak-kanak, Kiai Hasyim hidup dalam lingkungan pesantren tradisional Gedang. Keluarga besarnya tidak hanya pengelola pesantren, tetapi juga pendiri pesantren-pesantren yang masih cukup terkenal hingga saat ini. Ayah Kiai Hasyim (Kiai Asy‟ari) merupakan pendiri dan pengasuh pesantren Keras, sebuah daerah di Jombang. Sedangkan kakeknya dari jalur ibu (Kiai Utsman) dikenal sebagai pendiri dan pengasuh pesantren Gedang yang pernah menjadi pusat perhatian santri-santri Jawa pada akhir abad ke-19. Sementara kakek ibunya yang bernama Kiai Sihah dikenal sebagai pendiri dan pengasuh pesantran Tambakberas (Jombang). Pada umur lima tahun, Kiai Hasyim pindah dari Gedang ke desa Keras karena mengikuti ayah dan ibunya yang sedang membangun pesantren baru. Di sini, Kiai Hasyim menghabiskan masa kecilnya hingga berumur 15 tahun, kemudian meninggalkan desa Keras untuk belajar ke berbagai pesantren ternama saat itu hingga ke Makkah.  Pada usia yang ke-21, Kiai Hasyim menikah dengan Nafisah, salah seorang putri Kiai Ya‟qub dari Siwalan Panji, Sidoarjo. Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H. Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Bersama istrinya, Nafisah, Kiai Hasyim kemudian tinggal di Makkah untuk menuntut ilmu. Tujuh bulan kemudian, Nafisah meninggal dunia setelah melahirkan seorang putera bernama Abdullah. Empat puluh hari kemudian, Abdullah menyusul sang ibu. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu, membuat Kiai Hasyim sangat terpukul. Kiai Hasyim akhirnya memutuskan tidak berlama-lama di tanah suci dan kembali ke Indonesia setahun kemudian. Setelah lama menduda, Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang gadis anak dari Kiai Romli dari desa Karangkates Kediri bernama Khadijah. Pernikahannya dilakukan sekembalinya dari Makkah pada tahun 1899 M atau 1315 H. Pernikahannya dengan istri kedua juga tidak bertahan lama, karena dua tahun kemudian pada tahun 1901 M, Khadijah meninggal dunia.  Kiai Hasyim menikah lagi dengan perempuan bernama Nafiqah, anak Kiai Ilyas, pengasuh pesantren Sewulan Madiun. Dari hasil perkawinannya dengan Nafiqah, Kiai Hasyim mendapatkan sepuluh orang anak, yaitu: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Hakim (Abdul Kholik), Abdul Karim, Ubaidillah, Mashuroh, dan Muhammad Yusuf. Perkawinan Kiai Hasyim dengan Nafiqah juga berhenti di tengah jalan, karena Nafiqah meninggal dunia pada tahun 1920 M. Sepeninggal Nafiqah, Kiai Hasyim memutuskan menikah lagi dengan Masrurah, putri dari Kiai Hasan yang juga pengasuh pesantren Kapurejo, Pagu Kediri. Dari hasil perkawinan keempatnya ini, Kiai Hasyim memiliki empat orang anak: Abdul Qadir, Fatimah, Khodijah, dan Muhammad Ya‟qub. Perkawinan dengan Nafiqah ini merupakan perkawinan terakhir bagi Kiai Hasyim hingga akhir hayatnya. Menurut berbagai sumber, Kiai Hasyim meninggal dunia akibat penyakit darah tinggi atau stroke setelah menerima kabar tentang kondisi Indonesia saat itu. Pada tanggal 2 juli 1947, datang utusan Bung Tomo dan Jenderal Sudirman untuk menyampaikan kabar perihal agresi militer Belanda I. Dari keduanya, diperoleh kabar bahwa pasukan Belanda yang membonceng sekutu pimpinan Jenderal SH. Poor telah berhasil mengalahkan tentara republik dan menguasai wilayah Singosari Malang. Tidak hanya itu, pasukan Belanda juga menjadikan warga sipil sebagai korban, sehingga banyak di antara mereka meninggal dunia.


KADERISASI


Mungkin banyak yang heran sekaligus masih bertanya-tanya kenapa harus ada kaderisasi dalam setiap organisasi. Baik itu di organisasi-organisasi di kampus ataupun organisasi kemasyarakatan pasti memiliki satu bagian yang mengurus kaderisasi. Apa sebegitu pentingnya kaderisasi untuk organisasi?? Mari kita telaah secara bersama-sama.
Kaderisasi bisa diibaratkan sebagi jantungnya sebuah organisasi, tanpa adanya kaderisasi rasanya sulit dibayangkan suatu organisasi mampu bergerak maju dan dinamis. Hal ini karena kaderisasilah yang menciptakan embrio-embrio baru yang nantinya akan memegang tongkat estafet perjuangan organisasi. Kaderisasi berusaha menciptakan kader yang bukan hanya hebat dalam mengerjakan suatu program, tapi lebih dari itu. Kaderisasi haruslah mampu menciptakan kader yang memiliki jiwa pemimpin, memiliki emosi yang terkontrol, kreatif dan mampu menjadi pemberi solusi untuk setiap permasalahan, harus memiliki mental yang kuat  dan  yang terpenting dapat menjadi seorang teladan bagi anggotanya. Dalam proses kaderisasi ada dua ikon penting, yaitu Pelaku Kaderisasi (subjek) dan Sasaran Kaderisasi (objek)
Pelaku kaderisasi adalah individu-individu yang telah memiliki kapasitas yang mantap dan kuat  untuk mengkader semua anggotanya dan memahami alur atau berjalannya kaderisasi dalam organisasi tersebut.  Sedangkan sasaran kaderisasi adalah individu-individu yang dipersiapkan dan dilatih untuk menjadi penerus visi dan misi organisasi.
Jadi, Kaderisasi merupakan suatu kebutuhan internal yang  dilakukan demi kelangsungan dan kelancaran organisasi. Seperti halnya dengan hukum alam dengan  adanya suatu siklus, dimana semua proses pasti akan terus berulang - ulang  dan terus berganti. Namun semua itu harus ada  satu yang perlu kita pikirkan, yaitu format dan mekanisme yang komprehensif dan mapan, guna memunculkan kader-kader yang tidak hanya mempunyai kemampuan di bidang manajemen organisasi, tapi yang lebih penting adalah memiliki mental atau karakter serta  tetap berpegang pada komitmen sosial dengan segala dimensinya. Sukses atau tidaknya dalam sebuah organisasi dapat diukur dari kesuksesan dalam proses kaderisasi internal yang di kembangkannya. Karena, wujud dari keberlanjutan organisasi adalah munculnya kader-kader yang memiliki kapabilitas dan komitmen terhadap dinamika organisasi untuk masa depan.
Bung Hatta pernah bertutur mengenai kaderisasi, “Bahwa kaderisasi sama artinya dengan menanam bibit. Untuk menghasilkan pemimpin bangsa di masa depan, pemimpin pada masanya harus menanam.”






Monday, 17 December 2018

Marhaba Keliling

Salah satu bentuk syukur untuk menyambut Kelahiran Bagind Rasululloh SAW adalah melaksanakan kegiatan “Marhaban Keliling” ke setiap anak ranting se Ranting Desa Pangebatan selama bulan MULUD. Acara ini diikuti oleh seluruh Ansor Banser se Ranting Pangebatan dengan dipimpin oleh Ketua Ranting Pangebatan Sahabat Muhyidin, S.Pd. Alhamdulillah kegiatan ini sukses dengan pelaksanaan di semua anak ranting.


KHOTMIL QUR’AN

Kemampuan membaca Al-Qur’an sudah selayaknya dimiliki oleh setiap individu muslim, karena Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam dan sebagai pedoman dalam mengarungi hidup ini agar dapat mencapai kebahagiaan yang hakiki.
Dengan demikian, mempelajari Al-Qur’an merupakan kewajiban bagi setiap muslim, lebih dari itu Rasullah SAW telah menjanjikan kebaikan bagi orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya melalui sabdanya yaitu: “Orang yang paling baik diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya” (Al-Hadits).
Kegiatan khataman atau Khotmil Qur’an merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan setiap hari Kamis Ba'da sholat Ashar bertempat di Gedung NU. Dengan adanya kegiatan Khotmil Qur’an ini diharapkan bisa menjadi motivasi bagi sahabat Ansor Banser untuk senantiasa mengamalakan ajarannya dan menjadi bahan evualuasi sudah sejauh mana dapat membaca al-Qur’an sesuai dengan tajwid dan qa’dahnya.



Galeri Photo



LEMBAGA EKONOMI ANSOR BANTARKAWUNG

Mari biasakan belanja di orang-orang kita. Karena dengan begitu kita bisa saling membantu sesama KADER NU dan sekaligus beramal di Nahdlatul Ulama

Menyediakan segala atribut NU, Pakaian NU,
minat Hubungi : Kyai Isro Mi'roj
Alamat Bangbayang, Komplek PONPES Bustanul Arifin
HP : 0813-9106-8569
(Melayani antar jemput)



Melayani Jahit segala pakaian
Minat Hubungi : Sahabat Ruhanto
Alamat Waru.
HP : 0838-4488-8181
(Melayani antar jemput)



Aneka KERAJINAN TANGAN
Minat Hubungi : Sahabat Adi Aoladi
Alamat Bangbayang.
HP : 0852-2617-8247
(Melayani antar jemput)