Nahdlatul Ulama sedang berproses menuju siklus satu abad. Seratus tahun Nahdlatul Ulama, menjadi tonggak penting untuk melihat bagaimana dinamika jama'ah (komunitas) dan jam'iyyah (organisasi) dalam konstelasi keindonesiaan, kebangsaan serta ranah internasional. Seratus tahun, menjadi pembuktian sejauh mana kontribusi Nahdlatul Ulama dalam menyebarkan gagasan Islam Nusantara yang rahmatan lil 'alamin, Islam yang membawa kedamaian bagi semesta.
Apa tantangan sekaligus kontribusi Nahdlatul Ulama, dalam siklus seratus tahun? Sejak didirikan oleh beberapa kiai waskita pada 16 Rajab 1344 Hijriyah, atau 31 Januari 1926, Nahdlatul Ulama mengalami beberapa dinamika dalam pasang surut situasi politik kebangsaan.
Jika mengikuti kalender hijriyah, Nahdlatul Ulama akan akan mengalami siklus seratus tahun pada 16 Rajab 1444 Hijriyah (atau sekitar 7 Februari 2023). Sementara, jika menggunakan alur kalender masehi, organisasi Islam ini akan mengalami siklus satu abad pada 26 Januari 2026 M.
Di tengah konstelasi global, Nahdlatul Ulama memiliki tantangan besar, untuk tetap kokoh sebagai organisasi keislaman yang memperjuangkan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah, sekaligus mengokohkan keislaman dan kebangsaan. Tantangan ini, akan mempengaruhi bagaimana Nahdlatul Ulama menyusun langkah besarnya, dalam etape satu abad berikutnya.
Apa tantangan utama Nahdlatul Ulama saat ini? Pertama, dinamika kehidupan sosial-politik internasional. Kondisi keagamaan dan interaksi antar manusia di dunia internasional menjadi tantangan besar, bagi umat muslim di seluruh dunia dan Nahdlatul Ulama pada khususnya. Kekerasan berbasis agama, perang saudara, serta kerusuhan di beberapa negara Timur Tengah, merupakan tantangan bagi organisasi muslim di seluruh dunia untuk berkontribusi.
Apalagi, kontestasi Israel-Palestina menjadi bagian dari dinamika konflik antar negara, yang menyulut sentimen agama di berbagai belahan dunia. Di area lain, konflik di Suriah, Yaman, dan pergeseran peta geo-politik di antara negara-negara Arab, memicu bencana kemanusiaan yang baru.
Nahdlatul Ulama, memiliki tanggung jawab untuk mencipta perdamaian di tengah tantangan konflik internasional. Pada awal pendiriannya, Nahdlatul Ulama merespon isu global, yakni agresi kelompok Wahabi yang ingin menggerus makam Nabi, serta membongkar situs-situs peradaban kemanusiaan.
Peristiwa ini, direspon para kiai pesantren dengan membentuk Komite Hijaz, yang mendorong diplomasi internasional terhadap kasus ini, agar tidak menjadi medan konflik secara horizontal antar negara. Tujuan penting dari diplomasi internasional yang diperankan para kiai NU dalam rangkaian panjang sejarahnya, yakni mengusung mashlahah 'ammah, kemaslahatan bersama antar umat manusia.
Peran diplomasi keislaman bagi Nahdlatul Ulama pada masa kini dan mendatang, secara kontekstual dalam mengupayakan perdamaian internasional. Para kiai NU berperan penting dalam mengupayakan perdamaian di Afghanistan, dengan mencipta forum dialog antar pemimpin Islam dan kelompok politik di negeri itu. NU juga terlibat dalam inisiasi perdamaian pada konflik Rohingya di Myanmar, serta pelbagai agenda diplomasi perdamaian di beberapa negara Timur Tengah.
Kedua, kontestasi ideologi dalam spektrum demokrasi kebangsaan di Indonesia. Munculnya organisasi-organisasi yang mengusung ideologi radikal, maupun keinginan untuk mengubah sistem pemerintahan, menjadi tantangan tersendiri. Secara massif, dasar negara sekaligus Pancasila digempur dalam pertarungan ideologi yang massif. Wacana bahwa Indonesia sebagai negeri kafir, dan mempercayai Pancasila sebagai sistem toghut, merupakan narasi yang dibangun oleh pihak-pihak yang ingin menghancurkan negeri ini.
Nahdlatul Ulama berdiri pada titik yang kokoh, pada prinsip yang jelas untuk cinta tanah air. Hadratussyekh Hasyim Asy'ari (1871-1947) menahbiskan prinsip yang menyelaraskan semangat keislaman dan keindonesiaan. Pada kerangka ini, prinsip cinta tanah air dari Syekh Hasyim Asy'ari begitu penting: hubbul wathan minal iman, cinta tanah air merupakan sebagian dari iman.
Prinsip cinta tanah air yang digelorakan para kiai, menjadi bukti penting prinsip keindonesiaan dan kebangsaan Nahdlatul Ulama. Membangun jembatan keislama dan kebangsaan ini, menurut Prof Dr KH Said Aqil Siroj, merupakan sumbangsih penting kiai-kiai Nahdlatul Ulama yang khas, tidak dimiliki oleh ulama di negeri-negeri lain (Siroj, 2017).
Peran sebagai jangkar keindonesiaan dan kebangsaan ini, semakin menghadapi tantangan berat. Ide-ide kenegaraan yang berusaha meruntuhkan nilai-nilai Pancasila dan bhinneka Tunggal Ika, semakin membahana, menyusup ke ruang pikir generasi muda. Bersama Muhammadiyah dan beberapa ormas moderat, NU sudah teruji menjadi pilar penting untuk mengawal keindonesiaan kita.
Ketiga, tantangan internal jam'iyyah. Dalam siklus satu abad, Nahdlatul Ulama memiliki tantangan di internal organisasi dalam pemberdayaan komunitasnya, dalam bidang ekonomi, kesehatan, dan ideologi. Survei IndoBarometer pada tahun 2000, mengungkap jumlah warga NU di Indonesia sebesar 143 juta jiwa.
Sementara, pada 2013, Lembaga Survey Indonesia (LSI) sekitar 36 persen dari pemegang hak pilih secara nasional, mengaku sebagai warga NU. Artinya, ada sekitar 91,2 juta pemilih yang berasal dari warga Nahdliyin. Dari data ini, Nahdlatul Ulama merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia, sekaligus di dunia. Ini bukan klaim kosong, jika merujuk laporan survei lembaga-lembaga riset.
Namun, kuantitas yang besar haruslah diimbangi dengan pergerakan efisien serta produktivitas dalam pemberdayaan masyarakat. Saat ini, semangat kemandirian bagi warga nahdliyin sudah mulai berkibar, dengan munculnya gerakan koin untuk jama'ah dan jam'iyyah, serta mengembangkan ritel dari komunitas pesantren di beberapa kawasan.
Gerakan koin untuk sedekah dan organisasi, seperti yang tergambar di Sragen, Jawa Tengah, menjadi bukti kemandirian warga nahdliyin. Dari uang koin lima ratus rupiah yang dikumpulkan tiap hari, dalam waktu sebulan terkumpul miliaran rupiah. Ini menjadi pembuktian sekaligus penguatan pemberdayaan warga, bagaimana kuantitas bertransformasi menjadi gerakan ekonomi sekaligus penguatan basis kemandirian warga nahdliyin.
Meski demikian, penguatan dalam sektor sumber daya manusia sangat penting. Harakah an-Nahdliyyah(gerakan ke-NU-an), untuk menguatkan ekonomi kerakyatan, kesehatan, pendidikan kesetaraan sekaligus pemberdayaan harus dimaksimalkan.
Dari perspektif ini, Nahdlatul Ulama memiliki tantangan untuk meningkatkan kualitas sumber daya, ekonomi kerakyatan, kesehatan publik, dan peran penting dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Politik kebangsaan dan keindonesiaan, merupakan bagian dari strategi Nahdlatul Ulama untuk merawat negeri ini.
Oleh Munawir Aziz
Penulis adalah Periset Islam Nusantara, Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
nu.or.id
0 komentar:
Post a Comment