Rutinan Ahad PON

Tahlil dan Kajian Rutin Kitab Risalah Aswaja, Kitab Karya Mbah Hasyim ASy'ari

Berkah Ramadlan Bersama GP Ansor

Kegiatan Sosial yang akan dilaksanakan oleh PAC GP Ansor Bantarkawung seperti Santunan Fakir Miskin, Yatim piatu dan berbagi Takjil di Bulan Ramadhan.

Bakti Negeri dalam Satgas Covid 19

Kegiatan Satgas Covid 19 yang dilaksanakan Muspika melibatkan ormas-ormas termasuk Sahabat Banser.

Monday, 23 April 2018

Duel Maut Rasulullah dengan Ubay bin Khalaf

Rasulullah memimpin langsung 27 peperangan yang terjadi pada masanya. Namun, hanya sembilan peperangan saja yang berakhir dengan pertempuran karena selebihnya musuh menyerah secara damai. Perang Waddan (al-Abwa’) merupakan perang pertama yang diikuti Rasulullah. Perang ini terjadi pada bulan Shafar tahun ke-2 Hijriyah. Sementara perang Tabuk (al-Usrah) yang meletus pada bulan Rajab tahun ke-12 Hijriyah menjadi perang terakhir yang diikuti oleh Rasulullah. 

Mengutip dari buku Perang Muhammad: Kisah Perjuangan dan Pertempuran Rasulullah, ada tiga alasan yang menyebabkan Rasulullah berperang. Pertama, meladeni serangan musuh untuk mempertahankan diri. Seperti dalam perang Badar, Uhud, dan Khandaq. 

Kedua, menghukum mereka yang mengkhianati kerja sama atau perjanjian damai. Seperti perang Khaibar, Quraizhah, dan lainnya. Ketiga, menyerang sebelum diserang. Rasulullah juga melancarkan peperangan dengan musuh yang mengancam kaum Muslim seperti perang Tabuk. Terlepas dari itu semua, Rasulullah tidak pernah menyulut peperangan dengan siapapun. 

Diriwayatkan bahwa Rasulullah juga ikut bertempur langsung dalam tujuh medan peperangan. Yaitu perang Badar, Uhud, Muraisi’, Khandaq, Quraizhah, Khaibar, Penaklukan Makkah (Fathu Makkah), Hunain, dan Thaif. Semua peperangan berhasil dimenangkan kaum Muslim, kecuali perang Uhud.

Pada perang Uhud, kaum Muslim yang awalnya hendak menang menjadi kalah karena pasukan pemanah Muslim tidak mematuhi pesan Rasulullah. Mereka meninggalkan pos-posnya sebelum perang benar-benar berakhir untuk mengambil ghanimah (harta rampasan perang). 

Perang Uhud juga menyisakan cerita yang menarik. Salah satunya adalah duel maut antara Rasulullah dengan Ubay bin Khalaf. Merujuk buku Para Penentang Muhammad saw., duel maut antara Rasulullah dengan Ubay bin Khalaf menjadi tidak terelakkan dalam perang Uhud. Dengan menaiki kuda, Ubay menghampiri Rasulullah untuk membunuhnya. Melihat kejadian itu, para sahabat yang ada di samping Rasulullah berupaya untuk menghalau Ubay bin Khalaf namun kemudian dicegah oleh Rasulullah. 

Rasulullah yang sedari tadi sudah siap langsung melemparkan tombaknya ke arah Ubay bin Khalaf yang semakin mendekat. Ubay jatuh dari kudanya setelah tombak lemparan Rasulullah tepat mengenai tulang rusuknya. Setelah perang usai, Ubay bin Khalaf ditandu karena tidak bisa berdiri setelah terkena tombak Rasulullah. Ubay bin Khalaf tewas di tengah perjalanan ketika pasukan Quraisy hendak membawanya kembali ke Makkah. 

Ubay bin Khalaf merupakan salah satu anggota dari kelompok Syu’bah al-Syak, sebuah komunitas elit Quraisy yang sangat membenci Rasulullah. Semua anggota kelompok Syu’bah al-Syak -Abu Jahal bin Hisyam, Utbah dan Syaibah bin Rabi’ah, Umayyah bin Khalaf- tewas dalam perang Uhud kecuali Ubay bin Khalaf.  

Iya, Ubay dikenal sebagai seorang petarung yang hebat. Dia bisa saja lolos dari maut pada saat perang Badar, namun tidak pada saat perang Uhud. (A Muchlishon Rochmat)
 
sumber nu.or.id

Wednesday, 4 April 2018

Menuju Seratus Tahun Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama sedang berproses menuju siklus satu abad. Seratus tahun Nahdlatul Ulama, menjadi tonggak penting untuk melihat bagaimana dinamika jama'ah (komunitas) dan jam'iyyah (organisasi) dalam konstelasi keindonesiaan, kebangsaan serta ranah internasional. Seratus tahun, menjadi pembuktian sejauh mana kontribusi Nahdlatul Ulama dalam menyebarkan gagasan Islam Nusantara yang rahmatan lil 'alamin, Islam yang membawa kedamaian bagi semesta.

Apa tantangan sekaligus kontribusi Nahdlatul Ulama, dalam siklus seratus tahun? Sejak didirikan oleh beberapa kiai waskita pada 16 Rajab 1344 Hijriyah, atau 31 Januari 1926, Nahdlatul Ulama mengalami beberapa dinamika dalam pasang surut situasi politik kebangsaan.

Jika mengikuti kalender hijriyah, Nahdlatul Ulama akan akan mengalami siklus seratus tahun pada 16 Rajab 1444 Hijriyah (atau sekitar 7 Februari 2023). Sementara, jika menggunakan alur kalender masehi, organisasi Islam ini akan mengalami siklus satu abad pada 26 Januari 2026 M.  

Di tengah konstelasi global, Nahdlatul Ulama memiliki tantangan besar, untuk tetap kokoh sebagai organisasi keislaman yang memperjuangkan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah, sekaligus mengokohkan keislaman dan kebangsaan. Tantangan ini, akan mempengaruhi bagaimana Nahdlatul Ulama menyusun langkah besarnya, dalam etape satu abad berikutnya.

Apa tantangan utama Nahdlatul Ulama saat ini? Pertama, dinamika kehidupan sosial-politik internasional. Kondisi keagamaan dan interaksi antar manusia di dunia internasional menjadi tantangan besar, bagi umat muslim di seluruh dunia dan Nahdlatul Ulama pada khususnya. Kekerasan berbasis agama, perang saudara, serta kerusuhan di beberapa negara Timur Tengah, merupakan tantangan bagi organisasi muslim di seluruh dunia untuk berkontribusi. 

Apalagi, kontestasi Israel-Palestina menjadi bagian dari dinamika konflik antar negara, yang menyulut sentimen agama di berbagai belahan dunia.  Di area lain, konflik di Suriah, Yaman, dan pergeseran peta geo-politik di antara negara-negara Arab, memicu bencana kemanusiaan yang baru.

Nahdlatul Ulama, memiliki tanggung jawab untuk mencipta perdamaian di tengah tantangan konflik internasional. Pada awal pendiriannya, Nahdlatul Ulama merespon isu global, yakni agresi kelompok Wahabi yang ingin menggerus makam Nabi, serta membongkar situs-situs peradaban kemanusiaan.

Peristiwa ini, direspon para kiai pesantren dengan membentuk Komite Hijaz, yang mendorong diplomasi internasional terhadap kasus ini, agar tidak menjadi medan konflik secara horizontal antar negara. Tujuan penting dari diplomasi internasional yang diperankan para kiai NU dalam rangkaian panjang sejarahnya, yakni mengusung mashlahah 'ammah, kemaslahatan bersama antar umat manusia.  

Peran diplomasi keislaman bagi Nahdlatul Ulama pada masa kini dan mendatang, secara kontekstual dalam mengupayakan perdamaian internasional. Para kiai NU berperan penting dalam mengupayakan perdamaian di Afghanistan, dengan mencipta forum dialog antar pemimpin Islam dan kelompok politik di negeri itu. NU juga terlibat dalam inisiasi perdamaian pada konflik Rohingya di Myanmar, serta pelbagai agenda diplomasi perdamaian di beberapa negara Timur Tengah.  

Kedua, kontestasi ideologi dalam spektrum demokrasi kebangsaan di Indonesia. Munculnya organisasi-organisasi yang mengusung ideologi radikal, maupun keinginan untuk mengubah sistem pemerintahan, menjadi tantangan tersendiri. Secara massif, dasar negara sekaligus Pancasila digempur dalam pertarungan ideologi yang massif. Wacana bahwa Indonesia sebagai negeri kafir, dan mempercayai Pancasila sebagai sistem toghut, merupakan narasi yang dibangun oleh pihak-pihak yang ingin menghancurkan negeri ini.

Nahdlatul Ulama berdiri pada titik yang kokoh, pada prinsip yang jelas untuk cinta tanah air. Hadratussyekh Hasyim Asy'ari (1871-1947) menahbiskan prinsip yang menyelaraskan semangat keislaman dan keindonesiaan. Pada kerangka ini, prinsip cinta tanah air dari Syekh Hasyim Asy'ari begitu penting: hubbul wathan minal iman, cinta tanah air merupakan sebagian dari iman.       

Prinsip cinta tanah air yang digelorakan para kiai, menjadi bukti penting prinsip keindonesiaan dan kebangsaan Nahdlatul Ulama. Membangun jembatan keislama dan kebangsaan ini, menurut Prof Dr KH Said Aqil Siroj, merupakan sumbangsih penting kiai-kiai Nahdlatul Ulama yang khas, tidak dimiliki oleh ulama di negeri-negeri lain (Siroj, 2017).

Peran sebagai jangkar keindonesiaan dan kebangsaan ini, semakin menghadapi tantangan berat. Ide-ide kenegaraan yang berusaha meruntuhkan nilai-nilai Pancasila dan bhinneka Tunggal Ika, semakin membahana, menyusup ke ruang pikir generasi muda. Bersama Muhammadiyah dan beberapa ormas moderat, NU sudah teruji menjadi pilar penting untuk mengawal keindonesiaan kita.

Ketiga, tantangan internal jam'iyyah. Dalam siklus satu abad, Nahdlatul Ulama memiliki tantangan di internal organisasi dalam pemberdayaan komunitasnya, dalam bidang ekonomi, kesehatan, dan ideologi. Survei IndoBarometer pada tahun 2000, mengungkap jumlah warga NU di Indonesia sebesar 143 juta jiwa.

Sementara, pada 2013, Lembaga Survey Indonesia (LSI) sekitar 36 persen dari pemegang hak pilih secara nasional, mengaku sebagai warga NU. Artinya, ada sekitar 91,2 juta pemilih yang berasal dari warga Nahdliyin. Dari data ini, Nahdlatul Ulama merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia, sekaligus di dunia. Ini bukan klaim kosong, jika merujuk laporan survei lembaga-lembaga riset.    

Namun, kuantitas yang besar haruslah diimbangi dengan pergerakan efisien serta produktivitas dalam pemberdayaan masyarakat. Saat ini, semangat kemandirian bagi warga nahdliyin sudah mulai berkibar, dengan munculnya gerakan koin untuk jama'ah dan jam'iyyah, serta mengembangkan ritel dari komunitas pesantren di beberapa kawasan. 

Gerakan koin untuk sedekah dan organisasi, seperti yang tergambar di Sragen, Jawa Tengah, menjadi bukti kemandirian warga nahdliyin. Dari uang koin lima ratus rupiah yang dikumpulkan tiap hari, dalam waktu sebulan terkumpul miliaran rupiah. Ini menjadi pembuktian sekaligus penguatan pemberdayaan warga, bagaimana kuantitas bertransformasi menjadi gerakan ekonomi sekaligus penguatan basis kemandirian warga nahdliyin.

Meski demikian, penguatan dalam sektor sumber daya manusia sangat penting. Harakah an-Nahdliyyah(gerakan ke-NU-an), untuk menguatkan ekonomi kerakyatan, kesehatan, pendidikan kesetaraan sekaligus pemberdayaan harus dimaksimalkan.

Dari perspektif ini, Nahdlatul Ulama memiliki tantangan untuk meningkatkan kualitas sumber daya, ekonomi kerakyatan, kesehatan publik, dan peran penting dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Politik kebangsaan dan keindonesiaan, merupakan bagian dari strategi Nahdlatul Ulama untuk merawat negeri ini.  
 
Oleh Munawir Aziz
Penulis adalah Periset Islam Nusantara, Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
 
nu.or.id

Inilah Kiai-kiai yang Mendirikan NU

Gerakan para kiai Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) mendirikan organisasi merupakan lanjutan dari gerakan-gerakan para kiai sebelumnya. Kelanjutan dari gerakan Wali Songo dan ulama penyebar Islam lainnya. Selama ratusan tahun, sambung-menyambung, para ulama bergerak mempertahankan Islam di Nusantara. 

Karena keadaan terus berubah, tantangannya pun berbeda, cara para kiai Aswaja bergerak dalam mempertahankan dan menyebarkan Islam pun berubah juga. Jika sebelumnya hanya melalui pesantren dan tidak bergerak sendiri-sendiri, para kiai mencoba dengan mendirikan organisasi. Ini hanyalah persoalan cara, tapi intinya adalah mempertahankan Islam itu sendiri. Buktinya, pesantren dipertahankan, organisasi dijalankan. 

Tantangan baru itu adalah penjajahan bangsa Eropa. Mereka tidak hanya mengeruk kekayaan alam di Nusantara, tetapi menyebarkan agama dan budaya mereka dengan begitu masif karena terorganisir dengan baik. Dengan demikian, motif mendirikan organisasi adalah untuk menahan persebaran agama yang dibawa penjajah. Pada saat yang sama, berusaha lepas dari belenggu penjajahan (nasionalisme).

Motif mempertahankan agama, adalah Islam Ahlussunah wal Jamaah dengan mazhab empat. Sebab pada saat itu, di Timur Tengah muncul paham baru yang menggagas pembaruan dalam Islam dengan slogan kembali pada Al-Qur’an dan hadits dan antitaqlid kepada mazhab empat. Di Arab Saudi muncul pula paham Wahabi. 

Paham tersebut semakin kuat dan masif ketika disokong kekuasaan. Sejak Ibnu Saud, Raja Najed menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah) tahun 1924-1925, aliran Wahabi sangat dominan di tanah Haram. Kelompok Islam lain dilarang mengajarkan mazhabnya, bahkan tidak sedikit para ulama yang dibunuh.  

Paham tersebut juga mendapat pengikut kuat di Nusantara yang mengampanyekan antibidah dimana-mana. Taqlid adalah penyebab kemunduran, melarang tahlilan, dan tradisi-tradisi keagamaan lain yang jelas-jelas memiliki dasar dari ajaran Islam sendiri, yang selama ini dilakukan paham Ahlussunah wal Jamaah.  

Para ulama Ahlussunah wal Jamaah di Nusantara, risau dengan kebijakan Arab Saudi tersebut. Mereka kemudian merencanakan untuk mengirimkan utusan ke Tanah Suci Makkah, menemui penguasa saat itu untuk meminta menghentikan kebijakan itu. Rencana untuk mengirim utusan dilaksanakan di kediaman KH Wahab Hasbullah di Kertopaten, Surabaya pada16 Rajab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926, untuk membentuk Komite Hijaz.

Pada pertemuan itu, mereka memikirkan utusan yang akan dikirimkan itu atas nama apa. Karena belum ada wadah kelompok tersebut, mereka sepakat membentuk organisasi bernama Nahdlatul Ulama, kebangkitan ulama berdasarkan usulan KH Mas Alwi Abdul Aziz. 

Setelah menyepakati mendirikan organisasi, mereka kemudian menyepakati mengirimkan utusan ke Tanah Suci Mekkah untuk menyampaikan lima permohonan. Pertama, memohon diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz. Kedua, memohon untuk tetap diramaikan tempat-tempat  bersejarah . Ketiga, memohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia, setiap tahun sebelum datangnya musim haji menganai tarif yang harus diserahkan jamaah haji. Keempat, memohon agar semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis dalam bentuk undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut. Kelima, memohon  balasan surat kepada  kedua delegasi tersebut.  

Berdasarakan buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU karya Choirul Anam, para kiai yang hadir dalam pertemuan Kertopaten, Surabaya itu adalah KH Hasyim Asy’ari Tebuireng (Jombang, Jawa Timur) KH Bishri Syansuri (Jombang, Jawa Timur), KH Asnawi (Kudus, Jawa Tengah) KH Nawawi (Pasuruan, Jawa Timur) KH Ridwan (Semarang, Jawa Tengah) KH Maksum (Lasem, Jawa Tengah) KH Nahrawi (Malang, Jawa Tengah) H. Ndoro Munthaha (Menantu KH Khalil) (Bangkalan, Madura), KH Abdul Hamid Faqih (Sedayu, Gresik, Jawa Timur) KH Abdul Halim Leuwimunding (Cirebon, Jawa Barat) KH Ridwan Abdullah (Jawa Timur), KH Mas Alwi (Jawa Timur), dan KH Abdullah Ubaid dari (Surabaya, Jawa Timur) Syekh Ahmad Ghana’im Al Misri (Mesir), dan beberapa ulama lainnya yang tak sempat tercatat namanya. (Abdullah Alawi)

nu.or.id

Galeri Photo



LEMBAGA EKONOMI ANSOR BANTARKAWUNG

Mari biasakan belanja di orang-orang kita. Karena dengan begitu kita bisa saling membantu sesama KADER NU dan sekaligus beramal di Nahdlatul Ulama

Menyediakan segala atribut NU, Pakaian NU,
minat Hubungi : Kyai Isro Mi'roj
Alamat Bangbayang, Komplek PONPES Bustanul Arifin
HP : 0813-9106-8569
(Melayani antar jemput)



Melayani Jahit segala pakaian
Minat Hubungi : Sahabat Ruhanto
Alamat Waru.
HP : 0838-4488-8181
(Melayani antar jemput)



Aneka KERAJINAN TANGAN
Minat Hubungi : Sahabat Adi Aoladi
Alamat Bangbayang.
HP : 0852-2617-8247
(Melayani antar jemput)